Aku menatap rumah sederhana ini lalu berjalan mendekati pintu kayu berwarna coklat di hadapan ku. Dengan berbisik ku katakan, “Aku pulang.” Dari dalam tak ada yang menyambut, tatkala hanya ada barang-barang tua mengerinyit, kursi kayu tua, tv tua, dan sepeda ontel antik berban kempes.
Apa hal yang paling membahagiakan selain kembali pulang ke rumah setelah berpegian mencari arti dari diri sendiri. Seperti matahari yang telah larut dalam halauan gemintang malam ini aku merasa pulang terlalu telat.
Ibu meninggalkan aku tatkala beliau ingin melahirkan adik pertama ku tapi naas tak hanya Ibu, adik perempuan yang belum sempat diberi nama pun telah pergi menuju surga bersama Ibu, saat itu aku berada di luar pulau untuk mempersiapkan studi ku di negeri orang, aku tak bisa pulang dengan alasan sudah terikat dengan aturan beasiswa.
Sepeninggal Ibu, aku yang telah keterima di universitas luar negeri terpaksa meninggalkan Ayah yang tak ku ketahui ternyata beliau mengidap sebuah penyakit dalam yang ia sembunyikan, hingga akhirnya keesokan hari aku menerima gelar sarjana ku di hari itulah Ayah menerima gelar almarhumnya.
Aku pulang dari negeri tetangga membawa berbagai banyak cerita tapi sekali aku tak tau mau diberi ke siapa cerita ku ini.
Aku terlalu telat untuk pulang.
Di antara itu semua aku melihat sebuah foto berhias frame berwarna hitam ada aku di sana bersama Ibu dan Ayah yang hangat memeluk ku, kami tampilkan senyum terbaik kami di sana. Tanpa diduga airmata ku membasahi foto yang telah menguning itu, basah sekali.
Berasa, semua pencapaian ku hari ini menjadi sia-sia, untuk apa gelar tinggi ini, buat gaji dari pekerjaan ku nanti, buat siapa aku akan meluangkan waktu, semua seperti tak berguna. Jika aku bisa memutar waktu takkan ku biarkan rumah ini berdebu.