Alasan kenapa waktu kuliah aku ikut banyak organisasi adalah karena aku merasa ketika aku mengikuti sebuah organisasi atau UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) itu artinya aku menambah peluang kesuksesanku di masa depan. Aku kuliah di teknologi pangan, dengan nilai yang serba pas-pasan kaya celana leging trio macan.

Aku berharap, ketika ijasah teknologi pangan ku sudah mentok sementok-mentoknya setidaknya aku punya sertifikat dan pengalaman lain dari banyak organisasi yang aku ikuti. Namun, hanya satu UKM yang aku tidak mau berkerja dari sana, yaitu UKM Pers.

Sebenernya, menjadi seorang jurnalis itu enggak susah-susah banget tapi susah kali! Selain harus memiliki mental yang kuat, mental kita diuji kala ketika mencari suatu berita dan butuh narasumber. Prihal narasumber ini lah yang bikin kadang sakit kepala, aku pernah ngalamin hal yang kaya gini.

‘Mas boleh minta waktunya sebentar gak? mau nge-wawancara.’

‘Duh. Maaf dek gak bisa.’
Cari lagi, nanya lagi ke lain orang.

‘Mas boleh minta waktunya sebentar gak? mau nge-wawancara.’

Jawaban masih tetap sama. ‘Duh. Maaf dek gak bisa.’

Terakhir,
‘Mas boleh minta waktunya sebentar gak? mau nge-wawancara.’

Dijawab, ‘Duh. Maaf dek hm… saya lagi megang kamera kalau mau ke yang lain aja.’ ‘Lagian, kamu, kameramen sendiri malah ditanya begitu.’ ‘Kalau mau, pegang nih kamera.’

‘Yaudah sini.’

‘Tanya lagi coba,’

‘Mas boleh minta waktunya sebentar gak? mau nge-wawancara.’

‘Duh. Maaf dek…’

‘Apalagi!’

‘Saya lagi nyari kamera saya, nah itu dia yang lagi kamu pegang.’

‘BODO AMAT.’

Jika di daerah lain seorang jurnalis harus memiliki mental yang kuat, di Medan lebih dari sekedar itu selain mental yang kuat juga harus memiliki fisik yang kuat juga.

Terakhir kali aku pulang ke Medan, tetangga dekat rumah ku, rumahnya ada yang kebakaran hebat mobil pemadam dua unit langsung dikerahkan agar apinya cepat padam. Setelah padam, dan kondisi mulai kondusif datang seorang wartawan nanya-nanya ke si Ibu pemilik rumah yang terbakar. Setelah bridging, nanya nama, umur, segala macam, masuk dia ke pertanyaan inti. “Jadi buk, cemana la perasaan ibu setelah rumah ibu kebakaran?”

Si Ibu pemilik rumah langsung tersenyum lalu merangkul pundak sang wartawan. ‘Mau tau kau perasaanku sekarang?’

‘Iya buk cemana?’

‘Wihh, senang kali aku. Hari ini rumah ku kebakaran besok ku buatkan kibotan. Buat kau dagingnya ku kasih dua.’

‘Yang bener bu?!’

‘Ya, enggak lah bodoh.’ Sambil merubah rangkulan menjadi pitingan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s