Seperti surat bahagia yang diberitakan seorang kawan kepadaku.

Tidak ada yang namanya teman aja antara pertemanan pria dan wanita, jika tidak wanitanya yang suka maka pria nya yang suka. Dalam cerita ini, akulah yang mencintainya, menyukainya meski diam-diam, semua itu aku lakukan atas dasar bernama: Takut. Takut setelah dia menolakku, akan ada bentangan dinding yang tercipta.

Kita adalah teman semasa SMA, berteman hingga sekarang beranjak kuliah. Komunikasi kita tetap terjaga meski dipisahkan oleh sebuah selat sunda. Dulu semasa sekolah kita bersahabat dekat sekali, banyak kawan sepantaran yang mengira bahwa kita menjalin sebuah ikatan, kau menepis mati-matian diam-diam aku merasa kebahagiaan.

Hari dimana terakhir sekolah, kau menangis sesegukan setelah tau akan melanjutkan studi di luar pulau. Kau berkata jika tidak ada aku maka kemana aku akan berkeluh kesah, bercerita tentang hariku, bergosip seorang teman lainnya dan bahu yang aku basahi setelah menangisi setelah putus.

Aku meyakinkan dirimu bahwa teknologi mampu mendekatkan yang jauh, kita hanya menghamba pada aplikasi mana yang paling tercepat memberikan kabar. Kau mengganti tangis mu dengan senyum, senyum terakhir yang kulihat dengan mataku langsung, aku pamit untuk pergi jaga dirimu baik-baik.

Berpisah dengan mungkin adalah pilihan yang tidak buruk-buruk juga menurutku, karena aku tau saat kita akan berpisah kau tengah menjalin kasih dengan seorang pria lain. Seorang pria baik hati nan terpintar disekolahan, aku mana sanggup seperti dia guru manggil ke depan aja doa ku panjang dan khusyuk biar gak dipanggil apalagi menyamai dia.

Seminggu lalu, kita mulai sesi curhat yang kesekian kalinya. Kali ini tak seperti biasa, kau memulai video call dengan hidung yang telah memerah dan pipi yang telah terairi sumber air mata. Kau berkata dengan terbata-bata bahwa kau telah putus dengan pria mu, di luar aku menunjukan empati di dalam hatiku merasa mungkin ini jalan untukku.

Aku telah menunggu momen ini, namun aku kembali berada di persimpangan antara menyatakan atau tidak. Aku meminta saran kepada seorang teman harus ku apakan hatiku yang kebingungan ini, mereka berkata bahwa aku harus jujur kepada diriku sendiri. Masalah diterima atau ditolak adalah hal yang dikebelakangkan yang terpenting adalah kesehatan hati mu, dia sudah terlalu lama tersakiti berpura-pura tegar namun ternyata hatinya terbakar.

Dalam suatu malam dan sebuah telepon WA, aku memberanikan diri menerima resiko.

“Aku suka sama kamu, dari dulu kamu mau gak jadi pacarku?”

“Hah?”

“Pacaran, kamu mau ga?”

Beberapa saat yang ada hanya hening beberapa menit, setiap detiknya seperti satu ledakan di dalam dadaku. Aku memastikan,

“Halo,”

“Iya, aku mau.” Terdengar suara sesegukan dari balik sana. Aku menanyai alasan kenapa kau menangis dan kau jawab, “Aku juga suka sama kamu, juga. Dari dulu. Kenapa baru sekarang hiks hiks.”

Aku terdiam, menyadari diantara kami ada dua hati yang dulu “MERASA” kenal sekarang menjadi kenal tanpa “MERASA”.
5/5/2019

.

.

Adronitis
Merasa sudah lama kenal dengan seseorang tapi kita tidak bisa mengenalnya lebih dekat lagi. kemudian kita merasa kesal atau malah frustasi.

Galton whistle
Suatu peluit dengan titik nada yang sangat tinggi sekali, digunakan untuk menentukan ambang batas absolut titik nada.

Cerita ini berasal dari seorang kawan bernama Rizki, Galton whistle dianalogikan ketika dia sudah tak mampu menahan lagi perasaannya dan berada di ambang harus menyatakan sedangkan Adronitis yang dia pikir sahabat perempuannya hanya akan menjadi sahabat selamanya ternyata menyimpan perasaan yang sama dengannya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s