Tentang kencan pertama kita
Aku menunggumu dengan teduh, sebuah sepatu hitam polos kukenakan senada dengan setelan terbaikku hari ini.
Aku datang ke tempat perjanjian lebih cepat, tak mau kau menungguku lebih dulu. Aku mengirimimu pesan melalui media sosial dan kuyakin masuk tepat setelahnya. Sebuah balasan yang menyenangkan dibumbui rasa emotikon hati merah-merah menangguhkan hatiku untuk menunggumu adalah perkara mudah.
Ketika bersamamu, aku tak ingin waktu berlalu dengan cepat, mudah saja untuknya lewat tapi bersamamu semesta beralih, kau mengalihkan semestaku. Tak ada hal yang paling membahagiakan dari seorang manusia setelah tau tujuan untuk apa dia dilahirkan, dan aku telah menemukan tujuanku yaitu: Kamu.
Waktu itu, kau kenakan setelan berwarna putih, tak lupa kau bawa senyum yang melelehkan seluruh lelahku. Senyuman yang akan membuat para lebah kecewa karena betapa dia mengetahui ada hal yang lebih manis dari madu buatannya.
Tergopoh-gopoh seiring langkah yang menggemaskan, menanyaiku, “Apakah aku sudah terlalu lama menunggu.” Namun dihadapanmu, aku takkan sanggup untuk membuatmu kewalahan aku bak dermawan yang menerima dengan percuma tanpa pamrih. Melihat senyummu datang ke arahku adalah bayaran paling pantas untuk segala waktu yang telah kulewati.
Kita berkeliling kota menyusuri beberapa jalanan, mendengar desas-desis masyarakat yang berbicara bisik-bisik, menghirup aroma kertas yang terpancar dari buku-buku tua, menenggak beberapa es krim yang mencair turun, menonton senja yang siap mendarat, diakhiri dengan menyapa bulan yang lepas landas dari permukaan.
Tak ada hal yang paling terkenang dari kencan pertama, aku memegangi tanganmu dengan tak rela seakan berkata bisakah lebih lama sedikit lagi? aku menatap punggungmu yang berjalan berjauhan, senyummu meluluhlantakkan pertahanan rinduku.
Dalam gelap yang menyapa, aku mengesahkan satu tambahan doa wajibku yang akan kurapalkan setiap hari untuk Tuhan kabulkan, yaitu selamanya hidup bersamamu.
Setiap hari Rabu 22.00 WIB